LAMONGAN, semarangnews.id – Menehana teken marang wong kang wuto, menehana mangan marang wong kang luwe, menehana busana marang wong kang wudo, menehana ngiyup marang wong kang kudhanan.
Empat ungkapan Sunan Drajat itu jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kurang lebih bermakna berilah tongkat pada orang buta, berilah makan pada orang yang lapar, berilah pakaian pada orang telanjang, berilah tempat berteduh pada orang yang kehujanan.
Siapapun yang berziarah ke sana, bisa membaca karena termaktub di dinding cungkup makamnya di kawasan Drajat, Lamongan Jawa Timur. Kalimat-kalimat itu merupakan bagian terakhir dari tujuh ajaran anggota Walisongo yang memiliki nama Muhammad Qosim ini. Tujuh ajaran berbahasa Jawa itu kini termaktub pada bagian atas gapura yang jadi pertanda perbedaan ketinggian di komplek pemakaman Sunan Drajat di Lamongan.
Dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang berziarah ke sana Sabtu (18/3) harus menghentikan langkahnya setiap melintasi gapura-gapura itu. Dia membaca sesaat lalu berbincang dengan beberapa pengurus makam.
“Tujuh ajaran itu saya kira akan tetap relevan di segala zaman. Apalagi ajarannya sangat sarat makna,” kata Ganjar.
Sunan Drajat memang dikenal sebagai anggota Walisongo yang memiliki kepekaan sosial sangat tinggi. Sehingga metode dakwah yang digunakan menggunakan kalimat yang mudah dipahami masyarakat.
“Dan tujuh ajaran itu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,” kata Ganjar.
Jika dirunut, tujuh ajaran Sunan Drajat itu adalah Memangun resep tyasing Sasoma (selalu membuat senang hati orang lain). Jroning suka kudu éling lan waspada (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada). Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan). Mèpèr Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu). Heneng – Hening – Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur). Dan yang terakhir, Mulya guna Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu)
“Jadi beliau mentransformasikan ajaran-ajaran tersebut kepada kita. Agar dalam kondisi apapun, suka maupun duka selalu ingat pada Allah minimal lewat salat lima waktu,” kata Ganjar.
Ziarah di makam Sunan Drajat ini merupakan titik ke empat dalam rangkaian nyadran Walisongo yang dilakukan Ganjar Pranowo bersama istrinya Siti Atikoh. Setelah dari makam Sunan Drajat, Ganjar dan istri bergeser ke makam Sunan Bonang di Tuban. Berlanjut ke makam Raden Fatah, Sunan Kalijaga, Sunan Muria kemudian di makam Sunan Gunungjati di Cirebon. Seluruh rangkaian itu Ganjar dan istri bakal nyadran di makam orangtuanya.