SEMARANG, semarangnews.id – Berawal dari kekhawatiran minimnya kualitas layanan pendampingan, Dr. Nur Zaida, M.Pd, salah seorang pengawas Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota Semarang, berinovasi merancang dan menerapkan strategi yang ia namakan Double C (Clustering and Coaching).
Secara terpisah, Sabtu (19/10/2024), Nur Zaida menceritakan bagaimana tantangan yang dihadapi saat ini, antara lain soal jumlah pengawas yang bisa dibilang tak sebanding dengan jumlah sekolah serta beban kerja terkait pengelolaan waktu dan sumber daya yang ada.
“Sebagai seorang ASN, saya sangat bersyukur mendapatkan kesempatan mendampingi sekolah-sekolah yang beragam di kota tercinta ini. Karenanya saya berusaha memberikan layanan yang terbaik bagi sekolah-sekolah tersebut dengan cara mendampingi sekolah-sekolah sesuai dengan kebutuhan masing-masing dan membangun komunikasi dan hubungan baik dengan kepala sekolah dan guru-guru di wilayah dampingan,” ujar Nur Zaida.
Ia menuturkan, jika saat ini dirinya diberikan mandat mengawasi SMP negeri dan swasta se-kota Semarang dengan jumlah dua kali lipat dari sebelumnya.
“Banyak dari pengawas yang sudah purna. Awalnya saya hanya mendampingi 17 sekolah dan sekarang bertambah hingga 35 sekolah, terdiri dari sekolah negeri dan swasta dengan karakteristik yang berbeda-beda. Tujuh sekolah berstatus negeri, sedangkan yang lain adalah swasta, yang kondisinya sangat bervariasi,” ungkapnya.
Dari sekolah yang memiliki kekhasan agama, lanjut Nur Zaida, sampai sekolah dengan status SPK atau Sekolah Kerja Sama dengan kurikulum internasional seperti Cambrigde atau Oxford.
Ada pula sekolah yang memiliki sarana dan prasarana pendukung yang lengkap sampai dengan sekolah dengan sarana prasarana yang masih minim untuk melayani masyarakat dengan segmen tertentu.
Kondisi tersebut memicu situasi dalam pelaksanaan pendampingan yang bersifat umum di mana kepala sekolah harus berkumpul dalam satu tempat.
Beberapa kepala sekolah menurut Nur Zaida, tampak lebih diam, tidak nyaman, dan kurang percaya diri dalam menyampaikan ide atau menanyakan hal yang belum dimengerti.
Tentu saja ini berakibat pada mundurnya pengumpulan dokumen sekolah dari deadline yang telah disepakati sebelumnya.
“Misalnya KSP atau RKT seringkali terlambat dan tidak sesuai dengan panduan dan hasil diskusi. Keterlambatan biasanya berawal dari ketidakmengertian atau keraguan dari penyusun. Banyak permasalahan di sekolah yang juga tidak terdiskusikan dengan pengawas sehingga permasalahan semakin berlarut. Termasuk di dalamnya miskonsepsi terkait implementasi kurikulum Merdeka,” jelas Nur Zaida.
Kegiatan clustering (mengklaster) ini dirasa Nur Zaida sangat efektif untuk memberikan layanan kepada seluruh jenis sekolah tersebut.
“Biasanya saya melaksanakan clustering setelah pendampingan yang sifatnya umum untuk seluruh dampingan. Dalam pendampingan untuk seluruh sekolah selain bertatap muka langsung saya juga terkadang menggunakan media online mengingat jarak satu sekolah dengan sekolah lainnya,” ungkap Nur Zaida.
Tiap klaster, biasanya terdiri dari empat hingga 5 sekolah, tergantung dari jarak sekolah. Kemudian menurut Nur Zaida, pengawas akan datang ke tempat kepala sekolah klaster tersebut berkumpul. Dari situ mereka akan menyampaikan dan menindaklanjuti apa yang telah didiskusikan sebelumnya.
Karena jumlah yang tak terlalu banyak, maka diskusi dapat berjalan lebih lancar. Semua mendapat kesempatan untuk menyampaikan progres dan kendala yang dihadapi oleh masing-masing sekolah sesuai topik pendampingan.
Dan akhirnya, kepala sekolah atau guru yang awalnya kurang percaya diri untuk menyampaikan pertanyaan menjadi lebih aktif dan berani.
Namun diakuinya, tak semua diskusi program sekolah dan dinas pendidikan bisa terselesaikan melalui kegiatan clustering.
“Ada kalanya sekolah-sekolah perlu pendampingan yang lebih intens terkait permasalahan yang lebih spesifik. Misalnya terkait permasalahan SDM dalam mengadaptasi dirinya di sekolah sehingga suasana kerja tidak nyaman, atau sekolah penggerak yang hendak meng-upgrade sekolahnya dalam Implementasi Kurikulum Merdeka terkait pelaksanaan P5 yang berpihak pada murid dengan memanfaatkan Asset-based Thinking,” jelasnya.
Kali ini untuk mengatasi hal tersebut, Nur Zaida memilih menerapkan strategi coaching yang dirasa lebih tepat dalam melakukan pendampingan, salah satunya dengan membentuk komunitas belajar yang diberi nama Komunitas Belajar Ki Semar.
Di kelompok belajar tersebut, kepala sekolah dapat saling menginspirasi dengan praktik baik masing-masing dan lebih terprogram.
Tak jarang para peserta meminta kegiatan dilaksanakan secara luring karena ingin lebih fokus mengikuti kegiatan bila bisa bertatap muka langsung.
“Kombel Ki Semar secara rutin mengadakan pertemuan pada minggu pertama di hari Selasa. Setiap selesai kegiatan, dibagikan form presensi menggunakan GForm di mana terdapat pertanyaan terkait feedback mengenai kegiatan hari itu. Feedback dari peserta ini penting bagi saya untuk mengetahui materi-materi yang dibutuhkan oleh teman-teman kepala sekolah yang tidak tersampaikan secara lisan,” ungkap Nur Zaida.
Hebatnya lagi, Nur Zaida juga memanfaatkan sarana teknologi seperti aplikasi game, agar proses pendampingan dan pembelajaran peserta lebih menyenangkan.
“Misalnya saya menggunakan Kahoot untuk beberapa materi pendampingan seperti penyusunan tujuan pembelajaran atau pembelajaran terdiferensiasi,” ucapnya.
Tak hanya itu, Nur Zaida juga mengajak kepala sekolah dan guru-guru untuk berliterasi dan mencari sumber-sumber terpercaya guna mendukung kinerja mereka.
Bahkan, situs dan channel YouTube juga dibuatnya untuk memperkuat pemahaman dengan adanya penjelasan bahkan simulasi pelaksanaan implementasi kurikulum Merdeka.
Upaya Nur Zaida dengan strategi Double C (Clustering and Coaching) saat ini membuahkan hasil yang luar biasa. Namun demikian, dirinya tetap terus berkomitmen untuk menciptakan efektifitas yang lebih besar dalam hal pendampingan ke sekolah-sekolah. Dan ia juga berharap metode ini dapat diterapkan oleh rekan seprofesinya di wilayah lain di Indonesia.