Dari kiri, Bambang Sulistyanto, PLT Camat Gunungpati, Hendi, Tia Hendi, dan Lurah Pakintelan, saat menuangkan air dari 7 sumber mata air dalam prosesi Nyadran Sendang Curug Sari, Semarang 5/1/2025. (Selly).
SEMARANG, semarangnews.id – Ribuan warga Kampung Sironjang, RW 01, kelurahan Pakintelan, kecamatan Gunungpati, kota Semarang, tumpah ruah memeriahkan tradisi tahunan Nyadran Sendang Curug Sari, Minggu pagi (5/1/2025).
Tradisi ini bukan hanya tentang ritual adat, melainkan juga bentuk nyata pelestarian lingkungan, terutama sumber mata air Sendang Curug Sari yang telah menjadi nadi kehidupan masyarakat selama ratusan tahun.
Kegiatan Nyadran kali ini menghadirkan rangkaian acara istimewa, termasuk kirab budaya yang dimulai pukul 7 pagi. Kirab melibatkan berbagai elemen warga, menampilkan keunikan tradisi lokal yang mengundang decak kagum.
Yang menarik perhatian, dua ekor kuda yang telah dihias, ditunggangi tokoh masyarakat, dengan diiringi seekor kambing jawa jinak yang berjalan di antara kedua kuda. Iring-iringan ini menjadi simbol kebersamaan dan keharmonisan antara manusia, alam, dan hewan.
Sorak-sorai warga semakin meriah dengan penampilan drumband cilik dari siswa sekolah dasar setempat. Irama musik yang mereka mainkan menyatu sempurna dengan semangat kirab. Tak ketinggalan, kuda lumping yang dibawakan anak-anak menambah nuansa tradisional yang kental, menggugah rasa bangga akan budaya leluhur.
Rute kirab yang melewati sejumlah ruas jalan di kampung menarik perhatian banyak warga. Mereka dengan antusias ikut berpartisipasi, menyiapkan makanan dan minuman untuk para peserta kirab.
Selain itu, empat gunungan berisikan hasil bumi, makanan, dan jajanan anak-anak diarak sebagai simbol kesejahteraan dan rasa syukur masyarakat. Tak heran gunungan-gunungan tersebut dibagikan secara cuma-cuma kepada para warga yang telah menanti sejak pagi.
Akhirnya, iring-iringan kirab berakhir di Sendang Curug Sari, tempat sakral yang menjadi pusat acara Nyadran. Di sini, warga berkumpul untuk berdoa bersama, memohon kelimpahan rezeki dan kesejahteraan.
“Nyadran ini bukan hanya menjaga tradisi, tapi juga mengingatkan kita pentingnya menjaga lingkungan, terutama sumber mata air yang menjadi kehidupan kita semua,” ujar Madhik Masdhanakuninggar Ketua LPMK Pakintelan yang juga tokoh masyarakat setempat.
Hal senada juga disampaikan Daryono Ketua Paguyuban Sendang Curug Sari. Ia menekankan rasa syukur kepada sang pencipta dengan adanya sumber mata air tersebut.
“Yang kita lakukan di sini tuh merupakan wujud rasa syukur, rasa bhakti dari masyarakat terhadap sumber mata air karena telah menghidupi warga, sehingga sumber mata air ini sangat kita perlukan dalam kehidupan kita saat ini,” ungkapnya.
Dalam acara tersebut juga dilakukan prosesi pengambilan air dari tujuh sumber mata air yang kemudian dituang menjadi satu dalam gentong besar yang sebagai simbol rasa syukur menyatukan sumber mata air yang ada.
Dan yang tak kalah menarik, prosesi menuangkan air tersebut dilakukan oleh anggota DPRD Provinsi Jateng Krisseptiana (Tia Hendi), didampingi sang suami Hendrar Prihadi (Hendi) Kepala LKPP RI, bersama Bambang Sulistyanto salah seorang pemrakarsa sekaligus dosen FPP Undip, dan sejumlah pejabat pemerintah setempat.
“Tentunya saya sangat mengapresiasi sekali, kegiatan ini kan sudah tahun yang ketiga diadakan, uri-uri budoyo itu yang sangat luar biasa,” ujar Tia.
Sementara itu Bambang Sulistyanto menyinggung tiga hal yang diangkatnya sebagai sebuah keunggulan.
“Saya mewakili Undip masuk disini mencoba untuk mengolah 3 hal, yaitu aspek pertanian, aspek budaya, disini kami mencoba menggabungkan budaya kearifan lokal dengan akses situs penyebaran Budha pertama di Indonesia pasca Majapahit di bukit Kassapa, kemudian ada pula keguyuban warga, sehingga saya mencoba mengambil tema Agro Eco Cultural,” imbuh Bambang.
Seperti diketahui bukit Kassapa merupakan tempat bersejarah penyebaran agama Budha di Indonesia. Dan pada Mei 2024 lalu, 43 Bikkhu memulai perjalanan spiritual dari bukit tersebut menuju Candi Borobudur untuk memperingati Waisak.
Baca juga: Semangat Kebhinekaan Warga Kota Semarang Iringi Perjalanan 43 Bhikkhu Thudong ke Candi Borobudur
Dengan letak geografis kampung Sironjang yang tak terlalu jauh dengan bukit Kassapa, maka tak heran sekitar 80 orang warga di kampung tersebut memeluk agama Budha. Dan ini juga menjadi nilai lebih salah satu bentuk toleransi beragama di kampung Sironjang.
Selain kirab dan prosesi Nyadran, dalam kegiatan tersebut juga ditampilkan sejumlah kesenian tradisional dan pasar rakyat Krempyeng Sironjang yang melibatkan pelaku UMKM sekitar dalam rangka meningkatkan ekonomi rakyat.
Tradisi Nyadran Sendang Curug Sari adalah bukti nyata bahwa warisan leluhur dan alam dapat berjalan harmonis, memberikan pelajaran berharga tentang kehidupan yang selaras dengan budaya dan lingkungan.