Praktisi hukum Satria Pratama ditengah kesibukannya di Pengadilan Negeri Kota Semarang, 28/4/2025. (Istimewa).
SEMARANG, semarangnews.id – Kasus Bambang Wuragil pengusaha sekaligus penggiat sosial asal Kota Semarang terkait dugaan penelantaran anak dan keluarga yang dituduhkan kepada dirinya menarik perhatian banyak pihak tak terkecuali praktisi hukum Satria Pratama.
Dihubungi ditengah kesibukannya di Pengadilan Negeri Kota Semarang, Senin pagi (28/4/2025), Satria menjelaskan, dalam konteks hukum pidana, seseorang hanya bisa dihukum bila ada niat jahat dan perbuatannya.
“Pertama menurut saya harus ada niat jahat dan perbuatannya alias kedua-duanya, tidak hanya salah satu. Bisa saja seseorang itu melakukan perbuatan, tapi tidak ada niat jahatnya, maka ia tidak bisa dipidana,” ujar founder Kantor Hukum Satria Pratama & Rekan tersebut.
Menurutnya dugaan penelantaran anak selama 30 tahun yang dituduhkan oleh SW dan A yang muncul di sejumlah media massa belakangan ini, dapat merujuk pada UU Perkawinan Pasal 47 ayat (1).
“Nah jadi kalau berdasarkan Pasal 47 UU Perkawinan ayat satu kita melihat yang dimaksud anak adalah mereka yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Sementara kalau berdasarkan KUH Perdata Pasal 330 pengertian yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya,” ungkap Satria.
Baca juga:
Bambang Wuragil: Ternyata pada Saat Saya ‘Bersama’ dengan Dia, Saya Diambil Fotonya
“Dan jika berdasarkan UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 anak yang dimaksud belum berusia 18 tahun,” imbuhnya.
Lebih lanjut Satria berpendapat jika informasi yang beredar di pemberitaan, seseorang yang mengaku anak kandung Bambang Wuragil saat ini usianya tidak termasuk kategori anak.
“Saya sudah baca berita, si A ini usianya sudah bukan lagi anak dan sudah menikah juga ya. Sehingga tidak dapat disebut sebagai anak,” pungkasnya.
Dari hal tersebut, Satria menduga bisa jadi ada motif lain dibalik tuduhan penelantaran anak dan keluarga.
“Dengan beredarnya berita yang menurut saya cukup massif, saya menduga ada tujuan lain yaitu membuat nama baik Pak Bambang tercoreng dan terkesan menyerang nama baik dan kehormatan beliau,” ucapnya.
Untuk itu, Satria menyarankan Bambang Wuragil segera melaporkan balik atas dugaan pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud pada Pasal 310 ayat (1) KUHP atau dengan pasal 27 ayat (1), (2), dan (4) UU ITE dengan ancaman pidana maksimal 6 tahun denda paling banyak Rp. 1 Miliar, atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo UU 19/2016 dengan ancaman pidana penjara maksimal 4 tahun dan atau denda maksimal 750 juta.
“Saya kira sudah tepat bilamana pak Bambang menempuh upaya hukum degan membuat laporan polisi karena itu adalah hak hukumnya, dan juga dalam hal ini Polda Jateng wajib menerima adanya laporan polisi dari Pak Bambang tanpa adanya alasan menunggu laporan dari pihak lain.
Pak Bambang ini melekat pada dirinya asas presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah. Makna asas praduga tak bersalah adalah setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan. Dan ini perlu diperhatikan secara tegas. Dan jika saya membaca keterangan pers Pak Bambang tidak terdapat niat jahat dan juga perbuatan, dan dicounter sebaliknya. Tentu hal ini juga perlu dibuktikan oleh masing-masing pihak dengan koridor hukum,” tegasnya.