KENDAL, semarangnews.id – Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa banyak perubahan kehidupan yang semakin modern dan memudahkan kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Namun, tak semua orang diuntungkan dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satunya yang dialami para kusir dokar di kecamatan Boja.
Hingga saat ini, profesi tersebut masih digeluti karena merupakan profesi turun temurun dan seolah menjadi tanggung jawab mereka untuk melestarikan moda transportasi tradisional tersebut.
Dari sisi sejarah, moda transportasi dengan memanfaatkan tenaga kuda ini cukup eksis dan menjadi primadona dikalangan masyarakat, terlebih pada era sebelum tahun 1970.
Desa Bebengan, Awal Terbentuknya Komunitas Dokar
Di desa Bebengan Boja, awalnya dokar merupakan sarana transportasi pengangkut barang dari satu desa ke desa lain. Dan ini tak terlepas dari peran bangsa eropa yang kala itu memperkenalkannya.
Dahulu komunitas dokar masih dianggap sebagai sarana transportasi yang belum diperhatikan keberadaannya, karena jumlah penduduk di desa Bebengan masih sedikit dan memiliki kecenderungan untuk menanggung semuanya sendiri, memilih berjalan kaki atau mengangkut barang secara sedikit demi sedikit ketimbang menggunakan jasa dokar.
Selain itu, pendapatan rata-rata masyarakat desa Bebengan kala itu juga sangat rendah, sehingga banyak dari mereka yang lebih memilih menghemat uang untuk urusan dokar sebagai angkutan barang.
Kondisi menjadi berbeda pada awal tahun 1975. Pada tahun tersebut telah terjadi peningkatan angka mobilitas penduduk. Ini tak lepas dari masuknya pendatang baru yang bekerja di perkebunan karet atau hanya sekadar mengaduh nasib di Boja. Dan tentu saja berpengaruh pula kepada meningkatnya jumlah pengguna moda transportasi dan penyedia jasa transportasi pada masa itu. Kusir dokar pun jadi salah satu profesi yang diminati karena banyaknya permintaan jasa transportasi dokar.
Kholib yang telah menjadi kusir dokar sejak 1975 hingga sekarang mengungkapkan, jika profesi dan pengguna dokar tak lagi seperti dulu.
“Dulu enak jadi kusir dokar. Tiap hari minimal dapat 20 penumpang. Tapi jaraknya beda-beda,” ujar Kholib saat ditemui disela waktu istirahatnya.
Menurutnya kala itu jumlah masyarakat Boja kian meningkat dan fungsi dari transportasi dokar tidak hanya mengangkut barang, melainkan sebagai transportasi umum bagi masyarakat sekitar.
“Waktu jaman ada Belanda nya dulu itu jam operasionalnya mulai dari pukul 10.00 sampai 15.00. Tapi pas jayanya itu udah beda. Saya dulu bisa mulai pukul 05.00 sampai tengah malam,” ujar Kholib.
Cerita Kholib tersebut didukung dengan kebutuhan transportasi masyarakat yang semakin meningkat. Dahulu banyak pedagang pasar yang menggunakan jasa dokar. Mereka berangkat pagi buta demi melayani pembeli di pasar. Dan satu dokar dapat menerima penumpang sebanyak 20 orang dengan berbagai tujuan, dengan tarif sekitar 10 rupiah.
Tidak ada pembatasan rute jarak yang ditetapkan pada masa itu, bahkan pernah ada yang mengantarkan penumpang sampai ke desa Kaliwesi yang merupakan desa di luar kecamatan Boja.
Dengan pendapatan yang cukup menjanjikan pada masa itu, profesi kusir dokar banyak digandrungi oleh masyarakat yang bertempat tinggal di desa Bebengan, Kecamatan Boja.
Sehingga dengan bertambahnya jumlah para kusir kuda ini menjadikan mereka terkelompok menjadi satu komunitas dokar di Kecamatan Boja.
“Saya bisa nyekolahin anak saya sampai SMEA ya berkat jadi kusir kuda ini, mbak. Apalagi dulu jarang ada yang mampu nyekolahin anaknya sampai SMEA. Tapi Alhamdulillah saya mampu, mbak,” ungkap pria yang ayahnya juga berprofesi sebagai kusir dokar di Boja hingga akhir usia.
Menurutnya, keberhasilan menyekolahkan anaknya sampai bangku SMEA merupakan bukti nyata bahwa profesi dokar cukup menjanjikan pada kisaran tahun 1970 an hingga 1990 an.
Dokar Semakin Ditinggalkan
Peralihan jenis transportasi memberikan dampak yang kurang mengenakkan bagi komunitas dokar di Kecamatan Boja. Pasalnya masyarakat kini sudah mulai beralih dengan menggunkan kendaraan pribadi, seperti mobil dan motor.
Keberadaan Dokar di Kecamatan Boja juga semakin terdesak oleh angkutan modern seperti ojek online dan angkutan umum lainnya.
Selain itu tak sedikit masyarakat yang memandang transportasi dokar sudah tidak efektif lagi, khususnya soal ketepatan waktu, belum lagi aroma kotoran kuda yang terkadang cukup menganggu.
“Sekarang udah sepi mbak. Banyak yang punya motor jadi mereka sudah jarang pake dokar kalau mau pergi kemana-mana. Omsetnya sekarang juga sudah turun,” keluh Kholib.
Namun, terlepas dari maraknya moda transportasi komersial, para kusir dokar yang tergabung dalam komunitas dokar di kecamatan Boja tersebut, masih setia beroperasi hingga saat ini.
Biasanya komunitas dokar ini kerap mangkal menunggu penumpang di depan eks Kawedanan Boja dan tak jarang dari masyarakat sekitar yang masih memanfaatkan keberadaan dokar sebagai sarana wisata jalan-jalan bernostalgia, mengelilingi indahnya kecamatan Boja.
Penulis: Tiara (Fisipol UNNES)
Editor: Sapto