SEMARANG, semarangnews.id – Air mata Ruminah (58 th) tak henti menetes, saat ia menceritakan sosok Ahmad Asrori (68 th), sang suami yang saat ini menjadi terdakwa dalam kasus sengketa tanah di daerah Jolotundo kota Semarang. Lima bulan sudah dirinya berpisah, sejak Asrori menjalani proses persidangan yang hingga saat ini masih berlangsung. Rasa rindu untuk dapat berkumpul kembali dengan pasangan hidup, dirasa melebihi segalanya.
Asrori sebelumnya didakwa terlibat dalam upaya ikut serta memberikan keterangan palsu terhadap proses pengurusan penerbitan sertifikat sebidang tanah milik keluarga Ruminah di daerah Jolotundo kelurahan Sambirejo, kecamatan Gayamsari kota Semarang. Ruminah menyebut, sang suami kala itu hanya sebatas mengantar Marsinah, ibu kandungnya yang merupakan satu dari 16 ahli waris, untuk mengurus surat tanah milik ayahnya, Somoredjo.
“Ya pastinya saya tidak terima toh pak, wong bapak (Asrori) cuma mengantar tok, kok diputus (dituduh) sakpenaknya sendiri,” ungkap Ruminah saat ditemui di rumahnya, Jumat (20/1/2023).
Bagi Ruminah, dakwaan terhadap Asrori suaminya dirasa tidak adil.
“Padahal bapakku (suamiku) mboten ngerti nopo-nopo disuruh kesana kesini kok malah masuk (ditahan),” jelas Ruminah seraya menyampaikan kesedihannya.
Setelah pensiun dari kepolisian, lanjut Ruminah, Asrori sering menemani dirinya menjaga warung nasi yang jadi sumber penghasilan keluarga.
“Sesudah pensiun ini, dia (Asrori) sehari-hari ikut saya di warung nemenin, terus sekarang gak ada ya saya sendiri yang jualan nasi,” imbuhnya.
Ditemani Rani sang anak, Ruminah berusaha menyampaikan harapannya meski harus menahan tangis.
“Minta tolong pak hakim, bapakku (suamiku) dibebaskan, bapakku (suamiku) ndak salah,” pintanya.
Dimata Rani, putri ketiga Asrori, ayahnya merupakan orang yang disiplin dan teguh pendirian. Pasca pensiun dari Polri, Asrori lebih banyak menghabiskan waktu di warung bersama Ruminah dan langsung beristirahat sesampainya di rumah.
“Bapak terakhir tugas itu di Polsek Semarang Barat, kalau ndak salah pangkat terakhirnya Brigadir di Sabhara. Lah bapak itu kalo di rumah seringnya di kamar, karena dari pagi sampai sore nemenin ibu di warung, paling main sebentar sama cucu. Biasanya kalau lewat kamarnya ada bapak, tapi sekarang sepi, anak – anak kalo pas buka kamar suka nanya, mbah kung kemana,” ungkap Rani dengan mata berkaca.
Tak beda dengan Ruminah, Rani pun memohon kepada majelis hakim untuk bisa membebaskan ayahnya (Asrori) dari segala tuntutan.
Sementara itu, Parsugin Rakisa penasehat hukum Asrori, saat ditemui di kantornya, Jumat (20/1/2023) mengatakan, bahwa seharusnya kasus ini terlebih dulu diselesaikan secara keperdataan bukan pidana.
“Saat kami melakukan pengecekaan di kelurahan Sambirejo kecamatan Gayamsari, saya lihat letter C desa di kelurahan atas nama Somoredjo nomor 3231 masih bersih belum ada pengalihan hak atau jual beli, akan tetapi saat di persidangan lalu, pihak pelapor menghadirkan bukti C desa dengan nomor yang sama yang menjadi dasar jual beli dan penerbitan sertifikat hak milik atas tanah yang dimaksud,” jelas Parsugin.
“C desa yang dimiliki keluarga klien kami atau keluarga ahli waris dalam bentuk sawah, kemudian si pelapor dalam hal ini saudara Haji Santosari membeli tanah tersebut dengan surat C desa dengan kelas D (darat) dengan nomor 3231 juga, dan ini pun saya cek di kelurahan, yang kelas darat ini tidak ditemukan, justru yang ada C desa 3231 dengan kelas sawah,” imbuhnya.
Menurut Parsugin sebagai penasehat hukum, dalam buku C desa tidak mungkin ada dua surat dengan nomor yang sama.
“Maka ini harus diuji sebetulnya secara gugatan perdata mana yang lebih benar. Sesuai dengan surat edaran Mahkamah Agung nomor 1 tahun 1956 jika ada sengketa keperdataan tentunya perkara pidana harus dihentikan terlebih dahulu,” tegasnya.
Dari informasi yang diperoleh, pelapor sebelumnya membeli tanah tersebut dari dua orang ahli waris yang merupakan anak dari istri ketiga Somoredjo sekitar tahun 2004 silam.
“Si pelapor ini membeli tanah dari Muhammad Sunadi dan Muhammad Mahmudi anak dari Supiatun istri ketiga pak Somoredjo, ini yang jadi persoalan sebenarnya, karena jual beli ini tidak diketahui oleh ahli waris yang lain,” pungkasnya.
“Karena ini kaitannya dengan sengketa, kemudian urusan waris, lanjut Parsugin, maka langkah seharusnya yang dilakukan gugatan keperdataan terlebih dahulu, dan kami sampaikan dalam eksepsi kami di persidangan beberapa waktu lalu, kompetensinya tidak tepat, ini harusnya yuridiksi peradilan perdata bukan pidana.”
“Nah ahli waris yang merasa memiliki ini kan secara hukum untuk mencari kepastian kemudian mengurus, apakah bisa dipersalahkan lawong memiliki legal standing,” lanjutnya lagi.
Parsugin juga menilai jaksa penuntut umum tidak memiliki cukup bukti untuk melakukan dakwaan terhadap Asrori kliennya terlibat dalam upaya pemalsuan keterangan yang dimaksud.
“Dalam dakwaan jaksa, disini ditulis bahwa meskipun surat penguasaan dan surat tidak sengketa atas tanah yang dimaksud telah dicabut oleh Didik Prihantono Camat Gayamsari, namun masih juga dipergunakan oleh terdakwa Ahmad Asrori untuk kepentingan pribadi yakni melaporkan saksi yakni Santosari ke Polda Jawa Tengah, padahal disini Asrori tidak melaporkan, yang melaporkan adalah kuasa hukum ahli waris bukan Asrori,” jelas Parugin.
Sebenarnya lanjut Parsugin, pada waktu mengurus surat tersebut ahli waris telah menunjuk kuasa hukum yakni Iwan Paimin dan Siswo Raharjo.
“Menurut saya ditunjuknya kuasa hukum untuk mengurus surat-surat itu sudah tepat, jadi Asrori tidak melakukan yang disangkakan, mulai soal pembuatan keterangan apalagi tanda tangan surat dan sebagainya karena Asrori sendiri hanya cucu mantu bukan ahli waris,” tegas Parsugin.
Dalam pledoi yang telah disusun, penasehat hukum meminta agar Asrori dibebaskan dari segala tuntutan.
“Maka dalam pledoi, kami meminta kepada majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang, agar yang bersangkutan klien kami dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan,” tutup Parsugin.