
Ketua Forum Koordinasi Pengelolaan DAS Jateng, Prof. Ignatius Sriyana, saat menjelaskan gerakan RABUK terkait penanganan banjir Demak, Semarang 24/3/2024. (Selly).
SEMARANG, semarangnews.id – Prof. Ignatius Sriyana, Ketua Forum Koordinasi Pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) Jateng yang juga merupakan guru besar Fakultas Tehnik Sipil UNDIP mengatakan, jika salah satu sebab terjadinya banjir di kabupaten Demak dan sekitarnya akibat vandalisme dan krisis iklim yang sudah diluar kendali.
“Saat ini istilahnya bukan hanya perubahan iklim tetapi krisis iklim. Kenapa? Karena memang tiap tahun bencana banjir selalu terjadi. Selain iklim yang ekstrim, tapi juga diakibatkan adanya suatu, ya saya katakan vandalisme, tutupan-tutupan lahan semakin tahun semakin berkurang akibat alih fungsi lahan,” ujarnya, Senin (25/3/2024).
Menurut Prof. Sri, tutupan lahan di bagian hulu sungai tempat jebolnya tanggul, kondisinya cukup memprihatinkan.
“Seperti kejadian yang kemarin itu, ada di DAS yang bagian hulu itu ternyata juga sudah kritis, jadi tutupan-tutupan lahannya itu kritis, sehingga waktu hujan terjadi erosi sedimentasi,” jelasnya.

Lebih lanjut Prof Sri menjelaskan, erosi sedimentasi tersebut menyebabkan penampang sungai kian berkurang tiap tahunnya.
“Ketika curah hujan tinggi, maka kapasitas sungai tidak memadai sehingga terjadi jebolnya tanggul,” ujar Prof. Sri.
Selain itu Prof. Sri juga menyebut adanya antropogenik, yakni perilaku manusia yang secara sengaja maupun tidak memicu atau mempercepat terjadinya bencana.
“Kita semua masih kurang peduli, tutupan lahan berkurang, alih fungsi lahan begitu signifikan, sehingga mestinya di bagian hulu itu sebagai pabrik air untuk menampung air tetapi justru tidak berfungsi dengan baik,” ungkapnya.
Terkait penanganan, Prof. Sri menyebut itu tidak hanya penanganan darurat yang bersifat sementara melainkan harus ada penanganan berkelanjutan yang lebih menyeluruh.
“Menurut saya BBWS Pemali Juana itu sudah benar melakukan gerak cepat sampai mengerahkan seluruh armadanya untuk menangani tanggul jebol itu,” jelasnya.
Tetapi sesungguhnya, menurut Prof. Sri, masalah banjir tersebut bukan terletak pada sungainya.
“Bukan sungainya yang menjadi masalah, karena sungai itu bisa terbentuk secara alami tapi bisa juga terbentuk secara buatan, maka yang harus dilakukan itu tadi, harus berkolaborasi,” pungkasnya.

Dalam Sustainable Development Goals (SDGs) lanjut Prof. Sri, tak ada satupun yang terlewatkan, begitu pula dalam penanganan banjir jangka panjang, semua pihak semestinya harus terlibat tanpa terkecuali agar kejadian serupa tidak terjadi lagi.
“Ini harus ada gerakan-gerakan berkolaborasi baik itu antar pemerintah, masyarakat, dunia usaha, perguruan tinggi, TNI Polri, legislatif dan termasuk media,” jelasnya.
Bagi Prof. Sri, daerah aliran sungai harus dirawat oleh semua pihak agar supaya partisipatif melakukan kolaborasi.
“Banyak dari kita yang kepeduliannya masih kurang ya, jadi dengan gerakan HEBAT begitu di Jawa Tengah brandingnya ya, kita bisa mencegah bencana banjir ini agar tak terulang kembali,” jelasnya.
Berikut sejumlah poin dari gerakan HEBAT yang diinisiasi Prof. Sri sebagai upaya pencegahan banjir dan konservasi air khususnya di Jawa Tengah:
- Hijaukan bumi pertiwi Jawa Tengah dengan cara menanam pohon sebanyak-banyaknya. Di bagian hulu sungai yang berfungsi sebagai pabrik air harus betul-betul diselamatkan sebagai kawasan lindung, termasuk dilarang membuang sampah di daerah aliran sungai.
- Empati atau kepedulian seluruh pihak dalam hal melakukan gerakan yang menunjang penyelamatan lingkungan.
- Belajar dan aplikasikan ilmu serta teknologi. Contohnya terkait kebijakan larangan bahwa tak semuanya debit air harus dibuang ke sungai, melainkan dapat menggunakan storage (tampungan) seperti sumur resapan, bio pori, waduk dan sebagainya.
- Allah selalu memberkati upaya kita menyelamatkan lingkungan khususnya air.
- Tak henti merawat bumi untuk mewujudkan Jawa Tengah lestari.

Selain gerakan HEBAT, Prof. Sri juga menginisiasi gerakan RABUK (Rawat Bumi Kolaborasi) sebagai upaya mencegah terjadinya bencana alam khususnya terkait sumber daya air di 35 kota/kabupaten di Jawa Tengah.
Tidak hanya itu, gerakan RABUK ini telah disesuaikan dengan sejumlah aturan antara lain, PP No. 59 tahun 2017 terkait pembangunan yang berkelanjutan, UU SDA (Sumber Daya Air) No. 17 tahun 2019 dan termasuk PP tentang pengaturan sungai.
“Jadi ilmu-ilmu sudah kita masukan ke RABUK, yang berarti merawat bumi pertiwi di Jawa Tengah tadi yang berbasis kolaborasi, nah ini juga sudah dituangkan dalam Suistanable Develoment Goals nomor 17,” ungkapnya.
Di akhir, Prof. Sri berpesan kepada seluruh masyarakat di Jawa Tengah untuk bersama-sama meminimalkan kejadian bencana ini dengan gerakan RABUK (Rawat Bumi Kolaborasi).